Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Class Action Dan Hak Uji Materil Peraturan Perundang-Undangan

Oleh Boy Yendra Tamin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

I. Pendahuluan.

Terjadinya satu perbuatan melawan hukum tidak saja merugikan kepentingan seorang induvidu atau suatu badan hukum, melainkan dapat merugikan sekelompok orang dalam jumlah besar, bahkan masyarakat luas. Penyelesaian kasus serupa itu bukanlah perkara mudah, melainkan sangat kompleks, dan di lain pihak hak-hak masyarakat yang diatur dan dilindungi oleh hukum tidak boleh diabaikan.

Sesuai dengan sifat sistem hukum yang ajeg atau konsisten, hukum harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang timbul melalui sistem hukum pula. Dan dalam rangka penegakkan hukum, hukum harus mampu menyediakan sarana yang cukup memadai bagi pihak yang merasa dirugikan akibat adanya pelanggaran hak dan/atau kewajiban oleh pihak lain (E.Sundari:2002;1). Dalam konteks ini, menyoal gugatan secara class action menjadi penting untuk dikaji dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat.

Meskipun belum lama dikenal dalam sistem peradilan di Indonesia, namun kebutuhan akan prosedur class action kian penting. Ini terutama dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia tidak jarang terjadi ekses yang besar untuk terjadinya kerugian massal dan kerusakan para prikehidupan pokok masyarakat. Misalnya pembuangan limbah pabrik yang mencemari lingkungan hidup atau penebangan hutan secara besar-besaran akan mengakibatkan bencana alam atau kerusakan lingkungan yang pada akhirnya membawa kerugian pada masyarakat luas. Termasuk pelemparan produk barang dan jasa yang semakin agresif dengan berbagai cara yang pada tataran tertentu dapat merugikan konsumen, dan lain sebagainya.

Menurut catatan Indonesian Center for Enviromental Law (2003;4), dalam 2 tahun terakhir ini saja tidak kurang dari 50 gugatan dengan prosedur class action yang diajukan ke Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia, bahkan tercatat ada satu gugatan class action yang telah pula diterima dan diperiksa dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara. Substansi gugatan yang diajukan beraneka ragam dan tidak hanya terbatas pada perseolan lingkungan, konsumen, kehutanan yang memang secara normative sudah mengatur pendayagunan prosedur gugatan secara class action, bahkan untuk mengontrol DPR dan menanggulangi kasus korupsi banyak yang mulai melirik penggunaan prosedur class action

II. Pengertian Class Action dan Perkembangannya Di Indonesia

Di dalam bidang hukum yang menyangkut kepentingan publik, lembaga class action mempunyai kedudukan yang strategis (Glanter;1970:143). Strategis dalam arti memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat, terutama yang kurang mampu baik secara ekonomis maupun structural, untuk menuntut apa yang menjadi hak-hak mereka yang bersifat publik, misalnya hak atas kesehatan, hak atas pendidikan yang layak, hak atas lingkungan hidup yang lebih bersih dan sehat (E.Sundari;2002:25).

Class action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan kata “class “ dan “action”. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian action dalam dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan (E.Sundari;2002;8). Dalam berbagai literature dapat pula ditemukan pengertian class action antara lain menurut Black; class action menggambarkan suatu pengertian dimana sekolompok orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang diwakili (E.Sundari;2002;8).

Class action sebagai prosedur dalam pengajuan gugatan keperdataan telah dikenal dinegara-negara yang menganut sistem hukum common law sejak tahun 1800-an, dengan istilah representative action. Di Indonesia sendiri class action untuk pertama kali diperkenalkan pada tahun 1997 yang dituangkan dalam UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian disusul UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Berdasarkan Pasal 37 UU No 23 Tahun 1997, class action diadopsi dengan istilah “gugatan perwakilan” dan menyebutkan, bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan prikehidupan masyarakat. Dan disebutkan juga, bahwa, jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Gugatan perwakilan itu sendiri oleh UU No.23 Tahun 1997 didefenisikan sebagai hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Memahami Pasal 37 UUPLH tersbut, maka class action –gugatan perwakilan—bukanlah hak melainkan menyangkut prosedur mengajukan gugatan. Paham ini ternyata juga dianut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2002 yang dalam pasal 1 huruf (a) yang berbunyi; “Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan facta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.”

Meskipun class action di Indonesia diadopsi dan diterjemahkan dengan istilah “gugatan perwakilan”, “Gugatan Kelompok”, namun sebagaimana diingatkan E. Sundari, bahwa dalam konteks hukum acara perdata Indonesia perlu dipikirkan kembali secara cermat, karena dapat menimbulkan pengertian yang berbeda. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia gugatan dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan, atau diwakilkan oleh kuasa hukumnya. Gugatan yang diwakilkan oleh kuasa hukum atau lawyer tersebut lazim disebut sebagai gugatan secara perwakilan. Sementara dinegara-negara common law, gugatan pada prinsipnya harus diajukan melalui kuasa hukum atau lawyer dan para pihak. Gugatan demikian tidak disebut sebagai gugatan secara perwakilan sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata Indonesia (E.Sundari;2002;9). Persoalan ini menjadi penting, dimana dari sejumlah kasus yang diajukan secara class action di Indonesia dalam penanganannya ditemukan, bahwa belum adanya aturan hukum tentang prosedur acara pemeriksaan perkara dan menimbulkan banyak permasalahan dalam praktek pelaksanaan di Pengadilan. Walaupun MA telah mengeluarkan PERMA No.1 Tahun 2002, tetapi hanya bersifat sementara sambil menunggu lahirnya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai class action. Artinya, pada waktu-waktu mendatang prihal soal action di Indonesia masih akan mengalami perkembangan sejalan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

III. Kreteria Class Action.

Terlepas dari sempurna atau tidaknya pengaturan class action dalam PERMA No.1 Tahun 2002, yang jelas Indonesia sudah memiliki suatu acuan dalam pengajuan class action. Dalam konteks ini, di berbagai negara dikenal ada beberapa criteria class action. Di Amerika Serikat misalnya, berdasarkan Rule 23 of the Federal Of, class action diklasifikasikan dalam; (1) Class action sebagai class action penggugat (Plaintiff class action) maupun class action tergugat (defendant class action); (2) class action yang memberikan kewenangan untuk mengajukan gugatan yang tidak terkait dengan ganti rugi keuangan (injunctive atau declaratory relief); (3) Class action yag berupa tuntutan ganti rugi berupa sejumlah uang (“demage” class action) (Mas Ahmad Santosa;1997).

Lain lagi dengan di Australia yang berdasarkan the Federal Court of Australia Act (1979), part IV diatur kriterian class action sebagai berikut; (1) Jumlah penggugat sedikitnya berjumlah tujuh orang, sehingga berbeda dengan class action model Amerika Serikat yang mensyarakatkan numerousity (berjumlah sangat banyak); (2) Gugatan dilandasi oleh “the same, smilar, or related circumstances”. Bandingkan dengan persyaratan commonality atau common interest yang dikenal dalam class action model Amerika Serikat; (3) Gugatan paling tidak terdapat kesamaan satu isu substantif tentang hukum dan fakta.

Dengan mengetengahkan criteria dan persyaratan untuk melakukan class action di Amerika Serikat dan Australia, maka intinya adalah, bahwa penerapan dan pesyaratan untuk melakukan class action berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai class action baru ada kejelasan setelah terbitnya PERMA No.1 Tahun 2002 yang pada pasal 2 menyebutkan; (a) Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; (b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; (c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan kelompok yang diwakilinya; (d) Hakim dapat mengajurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

Berdasarkan kreteria gugatan class action, baik di Indonesia, Amerika Serikat maupun di Australia, maka penggunaan prosedur gugatan secara class action pada dasarnya memuat tiga hal:

Pertama; Numerousity, yaitu menyangkut banyaknya jumlah orang yang mengajukan gugatan. Melalui persyaratan ini, kelas yang diwakili (class members) harus sedemikian besar jumlahnya. Persyaratan class action yang diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 juga dilatar belakangi pemikiran yang demikian, yang memandang tidak efektif dan efisien penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan massal terhadap orang banyak, yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama, apabila diajukan serta diselesaikan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.

Kedua; Commonality, berarti harus ada kesamaan fakta maupun question lof aw antara pihak yang mewakili dengan yang diwakili.

Ketiga; Typicality, berkenaan dengan masalah tuntutan (bagi plaintiff class action) ataupun pembelaan (untuk defendant class action) yang diharuskan sejenis.

Keempat; adequacy of representation, wakil kelompok (class representatives) harus secara jujur menjamin dan melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya (class members).

Dengan demikian benarlah, bahwa class action bukan soal hak, melainkan menyangkut prosedur hukum acara yang harus dilakukan atau ditetapkan apabila terhadap suatu perbuatan melanggar hukum dengan kreteria sebagaimana telah dikemukakan. Sebagai suatu prosedur, maka pengaturan class action tidak dapat dilepaskan dari jenis-jenis class action. Dalam konteks ini dikenal beberapa bentuk class action;

A. Dilihat dari segi pihak yang berhadapan;

1. Plaintiff Class Action; pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seseorang untuk kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah besar. Di Australia, dalam Plaintiff Class Action jumlah penggugatnya yang sedemikian banyak sedangkan tergugatnnya tunggal atau beberapa orang saja. Para penggugat harus mempunyai kepentingan yang sama. Satu atau beberapa orang diantaranya mengajukan gugatan mewakili yang lain.

2. Defendant Class Action; pengajuan gugatan secara perwakilan terhadap seseorang atau lebih yang ditunjuk untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah besar. Di Inggris Defendant Class Action dapat dilihat di dalam rumusan class action sebagaimana diatur dalam Order 15 Rule12 (1) The English Rules of Supreme Court (ERSC) 1965, dimana gugatan dapat diajukan terhap seseorang tergugat yang mewakili dirinya sendiri sekaligus kepentingan sejumlah tergugat lainnya. Menurut ketentuan Order 15. Rule 12 (2) ERSC, Defendant Class Action dapat dilakukan atas permohonan pihak penggugat kepada hakim, dalam proses pemeriksaan yang sedang berlangsung, agar salah seorang atau lebih diantara tergugat ditunjuk untuk mewakili kepentingannya sendiri sekaligus kepentingan para tergugat lainnya.

B. Dilihat dari segi kepentingan yang hendak dilindungi dan siapa yang berwenang menuntutnya;

1. Pubclic Class Action; adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran kepentingan publik. Class action ini diajukan oleh instansi Pemerintah yang mempunyai kapasitas (biasanya oleh Jaksa/Penuntut Umum), dimana instansi pemerintah tersebut bukan anggota atau bagian dari suatu kelompok yang diwakilinya yang secara lansung dirugikan. Dalam konteks ini, di Indonesia sebenarnya juga dikenal Pubclic Class Action yakni sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat (2) UUPLH yang menyebutkan; Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

2. Private Class Action; adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran hak-hak perorangan yang dialami oleh sejumlah besar orang. Class action ini diajukan oleh perorangan, yaitu oleh seseorang atau beberapa orang yang menjadi bagian dari suatu kelompok atas dasar kesamaan permasalahan, hukum dan tuntutan.

Selain dari bentuk class action yang dikemukakan di atas, dikenal pula beberapa bentuk class action lainnya, yakni: (1) True Class Action; adalah class action sebagaimana dikenal dan dianut banyak negara, yakni kategori class action dimana dalam suatu kelompok seluruh anggotanya mempunyai kepentingan yang sama, atau mempunyai hak yang diperoleh secara bersama-sama dan sama dalam satu kasus ; (2) Hybrid class action, merupakan kategori class action, dimana hak yang dituntut oleh suatu kelompok orang ada beberapa tapi objek gugatannya adalah untuk memperoleh putusan hakim tentang tuntutan terhadap suatu barang atau hak milik tertentu dari tergugat; (3) Spurious class action, mempunyai pengertian sebagai class action yang tidak murni, dimana ada beberapa kepentingan dari pada anggota kelompok yang tidak saling berhubungan satu dengan lainnya dalam permasalahan yang sama terhadap seorang tergugat (E.Sundari;2002;20-24). Bentuk class action yang dikemukakan di atas, True Class Action, Hybrid class action, dan Hybrid class action umumnya dikenal di Amerika Serikat dan di negara yang menganut cammon law tidak mengenalnya pembagian class action yang demikian. Lagi pula, ketiga bentuk class action yang dikenal di Amerika Serikat tersebut dalam sistem peradilan federal Amerika Serikat telah dihapus karena sering menimbulkan kebingungan dalam penerapannya. [Bersambung ke Bagian Kedua]

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar