Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Globalisasi Hukum

Oleh: Boy Yendra Tamin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

Memahami dinamika globalisasi dengan segala dimensinnya, maka globalisasi juga akan memberi pengaruh terhadap hukum. Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju (Convergency).[1] Globalisasi hukum ada juga yang menyebutnya sebagai reformasi hukum lintas batas komersial,[2] tetapi apa pun istilah yang dilekatkan pada globalisasi hukum itu, ia pada intinya hendak menegaskan bahwa disamping hukum nasional suatu negara bangsa berkembang suatu hukum-hukum yang melampaui batas-batas kedaulatan negara bangsa.

Artikel Terkait:

What is Law : Definition of law In Dictionary

Globalisasi Sebagai Sebuah Kenyataan

Sistem Hukum Global Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional

Sistem Hukum Adat Ditengah Kuatnya Pengaruh Sistem Hukum Global

Masa Depan Hukum Islam Menghadapi Globalisasi Hukum

Meskipun saat ini pembicaraan terhadap globalisasi hukum lebih cenderung dalam konteksnya dengan globalisasi dibidang lain. Globalisasi hukum kadang kala dipahami pula sebagai penyesuaian hukum-hukum nasional suatu negara bangsa sebagai dampak dari perkembangan perekonomian global misalnya. Penyesuaian hukum nasional bisa juga dilakukan atas adanya tekanan organisasi internasional atau badan-badan dunia seperti WTO, IMF, Work Bank dan lain sebagainya. Meskipun pengaruh sistem hukum yang datang dari dari luar itu bukan barang baru bagi Indonesia, tetapi yang membedakannya dari suatu waktu adalah kondisi dan situasi serta atas kepentingan apa hukum-hukum nasional Indonesia menyesuaikan diri atau memerlukan penyesuaian.

Globalisasi

Dalam perspektif perbandingan sistem hukum benar adanya Hari Purwadi,[3] bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang paling execelen di dunia.[4] Karena memang tidak bisa diingkari, bahwa sebagian besar sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum import sejak dari zaman penjajahan sampai saat ini. Oleh karena itu, globalisasi hukum di Indonesia sudah berlansung sejak lama, akan tetapi globalisasi hukum yang terjadi masa lalu itu hanya menjadi sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam suatu negara bangsa yang berdaulat. Globalisasi hukum dalam perkembangannya justeru tumbuh dan berkembang melampau batas-batas kedaulatan negara dan kalau pun ia hidup dalam suatu negara nasional, tetapi perubahan dan penyesuaian sistem hukum itu lahir dari suatu kesepakatan internasional.

Dari sudut perkembangan globalisasi hukum yang demikian tentu bisa dipahami apabila pada abad mendatang akan berkembang apa yang disebut dengan “the era of comparative law”, meskipun saat ini geraknya belum tampak terlalu kuat. Namun demikian, yang terpenting sebenarnya dalam kaitan ini memaksa kita untuk mendalami globalisasi hukum pada satu pihak dan sistem hukum global dipihak lain. Apakah kemudian sistem hukum global menjadi bagian dari globalisasi hukum atau globalisasi hukum melahirkan sistem hukum global, merupakan tema-tema yang menjadi focus pada bagian ini. Kalau secara nasional sudah jelas bagaimana pengaruh globalisasi itu menjalar dalam kehidupan sistem hukum nasional. Di Indonesia saja saat ini berkembang beberapa sistem hukum, yakni:

  1. Civil Law System

  2. Common Law Sistem
  3. Islamic Law
  4. Socialisme Law
  5. Customary Law atau Sistem Hukum Adat
Oleh karenanya, jika globalisasi hukum bergulir ke ranah publik bersaman dengan pengejewantahan globalisasi, bagi Indonesia tidak sepenuhnya benar, karena jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terjadi impor sistem hukum ke Indonesia. Dengan demikian, pembicaraan terhadap globalisasi hukum di Indonesia beberapa waktu belakangan, tampaknya lebih merupakan suatu pembicaraan berkaitan dengan pergerakkan globalisasi di bidang lain. Dalam banyak pembicaraan dan bahasan sering diutarakan, bahwa globaliasi hukum diberbagai bidang, semisal globalisasi di bidang ekonomi, teknologi harus di ikuti dengan globalisasi hukum. Artinya globalisasi hukum berada dibelakang globalisasi bidang lain. Jika disetujui, bahwa globalisasi ekonomi merupakan manifesitasi baru dari perkembangan kapitalisme sebagai sistem ekonomi sosial, dimana transaksi dan lalu lintas ekonomi dan perdagangan tidak lagi terikat pada asal negara dari berbagai sistem hukum dan tradisi, maka globalisasi ekonomi harus diikuti globalisasi hukum. Meskipun demikian, tetap saja ada keraguan, dimana globaliasi hukum itu tetap diharapkan berlansung pada sistem hukum yang berbeda. Artinya, model ini tidak menjelaskan apakah globalisasi hukum memiliki sistem sendiri atau sistem hukum yang berbeda menjadi kekayaan dari globalisasi hukum.

Terkait dengan globalisasi itu, Soetandyo Wigjosoebroto mengemukakan, bahwa proses nasionalisasi setakat ini belum selesai, namun proses baru yang dikenali sebagai proses globalisasi sudah memasuki ambang pintu. Ini suatu proses yang lebih berhakikat sebagai proses ekonomi dan sosial kultural daripada sebatas proses politik, nota bene proses politik yang diilhami oleh semangat dan paham nasionalisme, dengan cita-citanya yang tak mau ditawar untuk mewujudkan kesatuan bangsa di bawah kontrol kepemimpinan yang berlegalitas kuat. Akan tetapi, kini kenyataan telah kian menjadikan cita-cita seperti itu bagaikan ilusi belaka. Kini, perkembangan kehidupan tidak lagi berhenti pada jalannya proses integrasi komunitas-komunitas lokal ke satuan-satuan nasional, melainkan bersiterus ke prosesnya yang kian berlanjut.[5] Hal ini memperkuat globalisasi hukum menjadi suatu yang tidak terhindarkan dan akhirnya meminta kita untuk mengamini, bahwa kehidupan nasional di manapun, baik yang menyatukan manusia-manusia yang terbilang ‘bangsa tua’ yang muncul dalam sejarah sebagai bangsa penj(el)ajah maupun yang terbilang ‘bangsa muda’ yang terj(el)ajah(i), kini ini telah terkocok ulang dalam suatu kekisruhan yang namun begitu bolehlah tetap direspons secara optimistik sebagai suatu proses yang secara progresif menuju ke bentuk-bentuknya yang baru.[6]

Dalam perpesktif seperti dikemukakan di atas, bagaimana sistem hukum global memainkan peran dan eksistensinya tidaklah mudah, sementara dilain pihak diyakini global society bukanlah suatu global state. Adanya juga yang menyebut Global state lebih tepat kalau dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang boleh juga disebut a global economy. Hal ini tentu menjadi integral dengan global society, dimana masyarakat negara bangsa terbebas dari ikatan-ikatan hukum nasional mereka. Dalam perkembangan saat ini, globalisasi berkembang lebih jauh dari pada global state (masyarakat pasar) –atau global state dalam pemahaman yang lebih luas sebagai “negara dunia” yang hadir dalam bentuknya yang nyata, tetapi berkembang dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab global”.

Keadaan itu tampak rumit dibanding memahami globalisasi hukum dalam perspektif tuntutan dari globalisasi ekonomi-perdagangan atau bidang lainnya. Jika, global economy bekerja melampui batas-batas nation state yang selama ini dirasakan sebagai hambatan, sekarang Jika terjadi silang sengketa dalam hubungan kontratual yang tidak bersanksi negara itu, maka penyelesaiannya akan dilakukan lewat apa yang disebut ADR (alternative dispute resolution), mulai dari yang bermodel renegosiasi atau mediasi sampai ke yang disebut arbitrasi. Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti ini mulai banyak dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian adjudikatif lewat litigasi-litigasi di badan-badan peradilan nasional. Pada tataran ini tampak globalisasi hukum sebagai dampak dari globalisasi ekonomi melahirkan suatu sistem hukum. Pilihan penyelesaian sengketa dari hubungan perdagangan dalam ranah globalisasi seperti yang terjadi pada bidang ekonomi/perdagangan itu, tentu akan tampak berbeda dalam konteks “global state” yang berwujud dalam tanggung jawab global.

Bagi Indonesia sendiri pengaruh globalisasi itu, selain menuntut penyesuaian sistem hukum nasional, globalisasi hukum sekaligus menghadapkan Indonesia pada berbagai penuntasan persoalan hukum yang harus diselesaikan. Tidak saja menyangkut grand desain hukum nasional yang belum ada, ada sejumlah keadaan hukum Indonesia atau apa yang dinamakan dengan (the existing legal system) [7] yang menunjukkan hal sebagai berikut :

Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaedah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem hukum yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasi untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.

Ditinjau dari segi bentuk… sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan jurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.

Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekosongan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.

Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan ada pula dari badan justisial.

Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum- khususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang sebagai urusan departemen yang bersangkutan.

Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoritik yang dipergunakan.

Keadaan hukum Indonesia sebagaimana digambarkan Bagir Manan di atas, penyesuaian sistem hukum nasional sebagai tuntutan globalisasi, jelaslah merupakan bukan pekerjaan ringan. Disisi lain, arus globalisasi terus mengalir dengan deras. Artinya, beberapa penyesuaian sistem hukum nasional Indonesia saat ini berkenaan dengan tuntutan globalisasi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Bagaimana globalisasi hukum dan perkembangannya merasuki sisten hukum nasional, maka dipihak lain globalisasi hukum pun menampakkan wujudnya sendiri yang tidak sekedar berupa adaptasi yang dilakukan dalam sistem hukum nasional. Bahwa keberadaan ADR sebagai sistem hukum global tentulah tidak akan sama keberadaanya dengan keberadaan Mahkamah Internasional yang mengurusi peradilan atas pelanggaran hak azasi manusia. Globalisasi hukum kemudian memperlihatkan wujudnya yang lain, dimana Mahkamah Internasiona; sebagai sistem hukum global sebagai suatu intrumen negara dunia (global state). Meskipun tidak terang-terangan dimaksudkan demikian, namun pengadilan-pengadilan nasional bukan satu-satunya tempat berproses bagi suatu kejahatan –yang meskipun masih dibatasai objek dan subjeknya--, tetapi ada lagi Mahkamah Internasional sebagai alternative. Mahkamah Internasionan akan bekerja atas suatu pengaduan/tuntutan, sekalipun yang teradukan adalah suatu tindakan dari pejabat pemerintah negara nasional yang sah.

Berdasarkan dinamika globalisasi yang mempengaruhi bidang hukum, maka globalisasi hukum sepertinya berakar pada dua hal, Pertama globalisasi hukum yang berakar pada globalisasi ekonomi dan bidang lainnya yang menempatkan global state sebagai “masyarakat pasar. Kedua globalisasi hukum yang berakar pada global state yang menampakkan wujudnya dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab global”. Hal ini mengindikasikan, globalisasi hukum ternyata lebih rumit dibanding globalisasi ekonomi. Globalisasi hukum dalam artian tanggung jawab global telah menempatkan dirinya sebagai alat bagi global state. Kondisi ini mirip dengan hukum sebagai alat kekuasaan sebagaimana terjadi pada negara-negara bangsa (negara nasional).

Dengan demikian. globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan hukum, yang kini ini kian tak lagi gampang dikontrol oleh kekuasaan sentral negara nasional, telah mengundang perhatian yang serius dari berbagai pengkaji dan pembuat kebijakan di manapun, baik yang nasional maupun yang internasional. Hukum berformat macam apakah yang kini ini mesti beroperasi di berbagai kancah, mulai yang transnasional, nasional dan juga subnasional. Tatkala negara-negara nasional terpaksa banyak membuka perbatasan-perbatasannya, dan perubahan-perubahan kehidupan ekonomi – yang berimbas ke kehidupan politik, sosial dan kultural – telah meningkatkan jumlah manusia berikut ide dan ideologinya yang melintasi berbagai sekatan, masalah penataan tertib dan kekuasaan struktural penertibnya akan menjadi pekerjaan rumah para pemimpin masa depan.

Tetapi betapapun globalisasi hukum sesuatu yang sukar dihindari negara-negara nasional, namun dalam konteks ini menjadi paradoks, sistem hukum global tumbuh dan berkembang, tapi ia tumbuh dan berkembang tidak dalam ruang apa yang disebut dengan global state. Kalaupun kemudian diproyeksikan akan akan suatu era pascamodern dengan paradigmanya sendiri yang lain, maka sistem hukum global yang sekarang berkembang belum menemukan bentuknya yang ideal.

Apakah mungkin mengharapkan globalisasi hukum akan melahirkan suatu sistem hukum global, sementara yang disebut global state itu tidak ada. Suatu kemungkinan yang paling berpeluang untuk terjadi adalah masuknya pengaruh sistem hukum suatu negara nasional yang kemudian bertindak atas nama tanggung jawab internasional atau dengan dalih perdagangan global, memaksakan sistem hukumnya diterima suatu negara-negara bangsa. Kemungkinan itu bisa terjadi apabila terdapat ketergantungan ekonomi, perdagangan, investasi, politik dan pertahanan dari suatu negara bangsa pada negara-negara yang selalu tampil dalam memainkan peran tanggung jawab internasional. Untuk saat ini globalisasi hukum yang berakar pada pengejawantahan tanggung jawab internasional itu, maka yang paling logis bisa terjadi adalah impor sistem hukum. Meskipun kita tidak melupakan adanya beberapa kesepakatan internasional yang melahirkan lembaga-lembaga hukum lintas batas negara-negara bangsa seperti Mahkamah Internasional, dan lain sebagainya,

Globalisasi hukum

Terlepas dari bagaimana hubungan yang menyelimuti antara hukum nasional dan globalisasi hukum itu, berkaca pada apa yang mengarus pada globalisasi ekonomi, maka globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian yang menyebar melewati batas-batas negara. Globalisasi hukum dapat terjadi melalui perjanjian dan konvensi internasional, hukum privat, dan institusi ekonomi baru. Globalisasi hukum itu kemudian diikuti dengan praktek hukum, dimana antara lain konsultan hukum suatu negara dan suatu sistem hukum, dapat bekerja dinegara lain yang mempunyai sistem hukum yang berbeda.[8] Akan tetapi dibalik globalisasi hukum ada hukum global.

Jika demikian halnya, maka dalam bertumbuhnya globalisasi sedemikian rupa suka atau tidak suka pengaturan-pengaturan hukum kita akan dihadapkan pada apa yang digambarkan Paul Schiff Berman, “we need to realize that normative conflict among multiple, overlapping legal systems is unavoidable and might even sometimes be desirable, both as a source of alternative ideas and as a site for discourse among multiple community affiliations”.[9] Persoalannya menjadi tidak hanya sekedar menyangkut pertempuran hukum local (baca hukum nasional) yang dihadapan pada globalisasi hukum, tetapi sekaligus dengan hukum global. Persoalannya kemudian, bagaimana sistem hukum global bekerja dan eksis.. hidup berdampingan dengan hukum nasional.(***)

Referensi:

[1] Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No. II Vol 6, Halaman 114.

[2] Thimothy Lindsey and Veronica Taylor, Rethinking Indonesian Insovency Reform : Contexts and Frameworks, dalam Tim Lindsey (Editor), Indonesia Bankruptcy, Law Reform & The Commercial Court, Ausaid, Desert Pea Press, 2000,page 2.

[3] Hari Purwadi, Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : “Critical Comparative Law” Dan Transplantasi Hukum Di Indonesia, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi,Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 225.

[4] Ibid

[5] Soetandyo Wigjosoebroto, Pluralisme Hukum Dalam Kehidupan Global, Hukum Dalam Masyarakat:Perkembangan dan Masalah (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 237-252

[6] Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature And The Reconstitution Of Social Order (London:

Profile Books, 2000), yang dikatakan oleh peresensinya bahwa Fukuyama kali ini tengah menulis “ on the rise and fall –and rise – of social order “ dalam suasana harapan yang diliputi optimisme. Dengan tesis yang boleh dibilang sama,tetapi dari perspektif yang berbeda, Huntington juga bicara tentang adanya clash tetapi juga adanya the remaking (ofWorld Order), dalam Samuel P. Huntington, The Clash Of Civilization And The Reamaking Of World Order (London:Touchstone Books, 1998).

[7] Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional (Dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik &Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LL.M.), Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 238 – 245

[8] Richard C Breeden, The Globalization af Law and Business in the 1990”s” Wake Forest Law Review Vol 28 No 3 (1993) h 511-517

[9] Peter Roorda, The Internasional Of The Practice Law, “Wake Forest Law Rieview Vol 28 (1993) h 141-159

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar