Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Globalisasi Sebagai Sebuah Kenyataan

Oleh: Boy Yendra Tamin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

Globalisasi bukanlah suatu yang baru, semangat pencerahan eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad XVIII juga merupakan pendorong trend globalisasi, yang membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi dua tiga dekade belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya. Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi ditandai oleh serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan pasar Internasional. Dalam perkembangannya saat ini globalisasi membuat lompatan yang cukup jauh yakni menciptakan pasar baru dan hubungan perdagangan baru, menciptakan sistem penghukuman baru terhadap terjadinya kejahatan-kejahatan tertentu.

Dalam konteks itu, sulit untuk dipungkiri, bahwa kini kehidupan telah kian marak dalam format-formatnya yang global, seolah menawarkan banyak alternatif baru, tak cuma yang berasal nasional melainkan juga bahkan yang lokal. Dalam suasana kehidupan yang kian terasa menuju ke suasana one world, differrnt but not divided dewasa ini, terjadilah suatau paradoks bahwa yang akan terjadi bukan hanya yang nasional dan modern melainkan hidup kembalinya untuk koeksis dan berdamping-damping sebagai alternative yang dapat dipilih. Tatkala selama ini nasionalisme dengan modernismenya terbukti tak selalu mampu menjawab persoalan manusia, maka tidak hanya globalisme dengan pascamodernismenya akan tetapi juga lokalisme dengan pramodernismenya boleh diduga akan kian mengedepan untuk menawarkan alternatif yang bisa dipilih, juga dalam kehidupan hukum. [1]

Globalisasi sebenarnya mencakup bidang yang sangat luas. Dalam bidang ekonomi misalnya, globalisasi sudah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu, meskipun terjadi dalam suasa kekerasan dan kolonialisme. Berbeda dengan sekarang, globalisasi ekonomi berkembang dengan jalan damai melalui perundingan dan perjanjian internasional.[2] Hal ini mengingatkan kita, bahwa dengan memperhatikan dinamika globalisasi yang kian fenomenal, maka tibalah kita pada suatu simpulan bahwa era modern secara cepat atau lambat, dan betapa pun kisruh kesan proses transformatifnya, akan mulai tergantikan oleh suatu era baru, yang disebut dengan era pascamodern dengan paradigmanya sendiri yang lain dari yang sudah-sudah.

Meskipun tidak dapat dipastikan seperti apa model era pascamodern itu tumbuh dan berkembang, karena tidak ada yang bisa menentukan sampai ketitik batas mana suatu kedaulatan negara berkurang. Banyak factor yang tampak masih menjadi penghalang utama yang tidak mudah disingkirkan bagi keberlansungan era pascamodern, apalagi apa yang disebut dengan global state itu secara nyata agaknya akan banyak ditentang ketika globalisasi didalamnya tersembunyi “wajah” intervensi.

Cita-cita global state itu bisa dipahami dengan mengedepankan teori negara dalam kondisi globalisasi. Martin Shaw, mengemukakan, It is based on the idea that globalisation is much more than the market liberalisation of the last quarter of the twentieth century and the associated changes, important though this new phase is.[3] Dalam pandangan Shaw, bahwa globalisasi dalam hal ini, diasumsikan tidak hanya secara ekonomi atau suatu fenomena sejarah baru, dan memang bukan proses tunggal sama sekali. Globalisasi bisa didefenisikan sebagai serangkaian proses kompleks yang berbeda namun berkaitan - ekonomi, budaya, sosial dan juga politik dan militer - dimana hubungan sosial telah berkembang menuju skala global dan dengan jangkauan global, selama periode sejarah yang panjang. Globalisasi telah berkembang selama beberapa abad, dalam arti bahwa apa yang Mann sebutkan 'peradaban multi-kekuatan aktor' Barat, yang berasal dari Eropa, telah datang untuk mendominasi kurang lebih seluruh dunia. Globalisasi dalam pengertian ini mencakup pengembangan bentuk regional dan transnasional serta secara eksplisit global.

Mehamami golbalisasi yang menjadi trend dibanyak negara, penting juga dipertimbangkan dengan cermat pengambilan keputusan menyikapi trend globalisasi dari setiap negara. Ini terutama berkaitan atas adanya trend globalisasi didominasi oleh proses-proses ekonomi, berakar atau dipenuhi akar politik, milieter dan transpormasi ideologi. Meskipun ada bantahan terhadap hal itu dan sebaliknya dinyatakan sebagai pandangan yang keliru. Meskipun demikian, melihat fakta dan ikutan yang menyertai globalisasi dugaan demikian terkadang bisa dirasakan banyak negara. Hal itu tentu tidak sepenuhnya bagi pendorong utama globalisasi. Kalau kita mau jujur, tentu globalisasi bukan sesuatu yang berdiri sendiri, ia membutuhkan banyak instrument atau menggunakan banyak atau berbagai saluran bagi kelancaran pergerakannya.

Walaupun selalu dibantah, bahwa globalisasi tidak memimiliki kecenderungan meminimalisir prinsip-prinsip negara-negara bangsa (nation state). Penganjur dan pengagum globalisasi bersikukuh menyatakan, bahwa globalisasi tidak merusak negara. Betapa pun globalisasi sering menampakkan wajah “elok”nya, tetapi tidak ada suatu mekanisme yang benar-benar bebas dampak negative, bahkan mungkin saja dampaknya kemudian hari tidak terduga dan ini tentu tidak seharusnya dipahami sebagai anti globalisasi. Sebab seperti dikemukan sebelumnya, globalisasi itu sudah berlangsung sejak berabat-abat yang lalu dan tentu bentuk dan coraknya berbeda dengan globalisasi yang berlangsung sekarang.

Bahayanya ketika globalisasi disandungkan dengan statemen pengerdilan terhadap negara-negara bangsa. Pengingkaran terhadap eksistensi negara-negara bangsa seringkali diperamati dengan zaman kekaisaran atau zaman raja, dimana penjajahan masih menjadi trend dan “dihalalkan”, ia bukanlah cara yang tepat meletakkan ke tempat yang jauh atau menyingkirkan pandangan yang mencemaskan pergerakan globalisasi. Di balik itu haruslah diakui, bahwa globalisasi tidak merusak negara, tetapi ada yang “menguntit” atau “memboncenginya” itulah yang dikhawatirkan. Sebuah pertanyaan “bodoh” dapat diajukan, apakah dalam demikian derasnya arus globalisasi, globalisasi politik dan kepentingannya akan duduk diam saja ?

Sejauh diuraikan di atas mengenai globalisasi tidaklah ditujukan untuk menempatkan diri pada posisi penolakkan terhadap globalisasi, tetapi yang terpenting sebenarnya bagaimana globalisasi itu mampu dimanage oleh negara-negara bangsa. Globalisasi sudah menjadi kebutuhan dan tidak bisa dicegah. Meskipun negara-negara bangsa telah universalized dan menyatakan tidak lagi otonom secara klasik, tetapi tidak identik dengan tidak berdaulat. Jika kedaulatan negara-negara bangsa diletakkan dibawah kedaulatan globalisasi, jelas globalisasi membawa masalah dan suatu negara bangsa akan dimasalahkan atau disalahkan. Hal itu tampak juga dalam pandangan, Martin Shaw yang menyatakan, bahwa” But this autonomy has been undermined chiefly by the outcomes of nation-states’ own projections of military power, rather than by economic, cultural and social globalization”,[4] tetapi kenyataannya tidak selamanya demikian.

Negara-negara Barat telah mengimplementasikan globalisasi dalam bentuk yang lebih jauh dari sekedar liberalism ekonomi atau sebatas globalisasi ekonomi. Amerika misalnya telah menempatkan dirinya dalam trend globalisasi itu dalam bentuk “tanggung jawab global”. Tanggung jawab global yang diusung Amerika Serikat telah mengenyampingkan prinsip-prinsip negara bangsa dan sekaligus kedaulatan hukum negara bangsa. Terakhir terlihat dukungan Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya bagi kaum oposisi di Libya sekitar Februari 2011 guna memaksa Presiden Khadafi turun dari kepemimpinanya yang sah. Walau pun tidak terkait langsung dengan globalisasi, tetapi tindakan Amerika dan Sekutunya yang direstui PBB, globalisasi berkembang kedalam bentuknya yang lain yaitu tanggung jawab global. Pada saat itu hampir semua prinsip-prinsip globalisasi terlanggar, dan bahkan dalam tatanan seperti itu globalisasi hukum tampak lebih dari sekedar mengikuti atau sebagai dampak dari globalisasi bidang lain (***)

Referensi:

[1] Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat:Perkembangan dan Masalah (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 237-252

[2] John Braithwaite and Peter Drabos, Global Business Regulation, (new York, Cambrige University Press,2000 h 23-24)

[3] Martin Shaw, The state of globalisation towards a theory of state transformation, From Review of International Political Economy, 4, 3, 497-513, 1997

[4] Ibid.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar