Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Saatnya Mengakhiri Bongkar Pasang Konsep Implementasi Otonomi Daerah

Ulasan: Boy Yendra Tamin

"Utak-atik" atau bongkar pasang model atau  konsep sepertinya sudah menjadi tradisi dalam pengimplementasian otonomi daerah di Indonesia dan hal itu sekaligus memperlihatkan otonomi daerah cenderung tumbuh dan berkembang sesuai "ritme" politik  dan kekuasaan. Tradisi berganti konsep otonomi ke konsep otonomi lainnya tanpa  disadari telah menjadi “virus” yang menyerang syaraf pertumbuhan otonomi daerah yang sejatinya sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat daerah secara lebih cepat dan sesuai kebutuhannya. Tentu juga stabilitas pemerintahan daerah di pihak lain.

Terkait soal model konsep implementasi  desentralisasi (otonomi daerah) itu  ada sajian berita menarik  di tempointeraktif.com (11 Oktober 2011- 15.43.Wib)   yang patut disimak;

Tempo interaktif, Jakarta-- Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Ratnawati mengkritik konsep desentralisasi dan otonami daerah yang berjalan selama era reformasi. Sistem pemerintahan ini justru melemahkan negara akibat munculnya egoisme kedaerahan dan kesukuan yang berlebihan.

Ratna mengatakan implementasi kebijakan otonomi daerah menunjukkan penekanan berlebihan pada desentralisasi. Hal ini menimbulkan irasionalitas dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Terbukti dengan tak membaiknya kondisi ekonomi masyarakat akibat ketidakcakapan pejabat daerah dalam mengelola pemerintahan dan ekonomi di daerah.

"Korupsi dan nepotisme terus terjadi, sementara kesejahteraan tak kunjung tercapai. Masyarakat jadi mempertanyakan di mana negara," ujar dia kepada Tempo usai acara pengukuhan gelar profesor riset di Widya Graha, LIPI, Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2011.

Pemerintah pusat sendiri tak bisa bertindak banyak melihat kondisi ini. Hal itu dipandang sebagai pembiaran atas penyimpangan otonomi daerah. Padahal konsep negara kesatuan yang diusung Indonesia mengharuskan kekuasaan terletak pada pemerintah pusat, bukan pada pemerintah daerah.

Tanggung jawab pemerintah pusat yang masih terabaikan itu adalah masalah kesejahteraan rakyat, good governance, dan efisiensi pemerintahan. Tiga hal ini tak mungkin tercapai oleh sistem desentralisasi dan otonomi yang bertumpu pada pemilihan kepala daerah langsung yang belakangan menjadi bisnis ekonomi-politik oleh elite daerah. Selain itu pemerintah daerah sering mengabaikan instruksi pemerintah pusat, sehingga program pembangunan sulit tercapai.

Sebagai solusi atas kondisi ini, ia menganjurkan Indonesia menerapkan dekonsentrasi parsial pada sistem pemerintahan. Sistem ini dilakukan dengan menambahkan wewenang tertentu pada birokrasi negara dan meletakkannya di daerah. Perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah ini sebaiknya menyentuh empat sektor utama pembangunan kesejahteraan yaitu infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.

Di seluruh dunia, kata dia, sistem dekonsentrasi parsial diterapkan bersamaan dengan sistem desentralisasi. Karena itu Indonesia tak usah malu-malu menerapkan sistem dekonsentrasi ini. Trauma di era pemerintahan Soeharto yang menjadikan perwakilan pemerintah pusat di daerah sebagai alat kekuasaan harus dipinggirkan. Sebab fungsi pengawasan daerah saat ini dilakukan lebih baik oleh anggota parlemen daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.

 "Checks and balances antara otoritas lokal dan otoritas pusat jadi sehat. Tak akan seperti era Soeharto," tutur dia lagi.

Menyimak  berita tempointeratif.com di atas,  "utak-utik" konsep  soal implementasi asas desentralisasi di Indonesia belum usai. Apakah tidak sebaiknya yang sudah diterapkan sekarang dioptimalkan  pelaksanaannya ? Sebab belajar dari pengalaman, di Indonesia sepertinya sulit menemukan suatu konsep otonomi yang "pas", dan hal itu akan terus terjadi jika otonomi daerah  cenderung atau melulu dipahami sebagai sebuah tuntutan politik dan kekuasaan. Jika desentralisasi diletakkan pada tujuannya yang sejati, maka tentu tidak akan muncul pandangan-pandangan bahwa otonomi memunculkan ego daerah dan juga sebenarnya bukanlah suatu persoalan karena memang berotonomi atau otonom itu intinya kan pada mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.  Jika pemerintah daerah kuat dan makin mandiri, maka tentu sekaligus penguatan bagi pemerintah pusat. Karena sudah jelas adanya, bahwa otonomi daerah seluas apapun diberikan kepada daerah, toh prinsip dasarnya jelas , yakni otonomi dalam sebuah negara kesatuan dan bukan otonomi dalam sebuah negara federal.

Jika otonomi daerah yang sekarang dipraktekkan dan dilaksanakan (akan) ganti konsep/model lagi, maka pertanyaan mendasarnya, kapankah pemerintahan daerah akan kuat, mandiri, stabil dan makin nyata  mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah bersangkutan.  Mungkin sebuah analisa awal,  tetapi sepertinya sudah terlalu sering kita berganti konsep otonomi daerah. (***)Sumber berita: tempointeraktif.com

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar