Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Eksistensi Hukum Islam Dan Pembentukan Hukum Di Indonesia

Oleh : Boy Yendra Tamin

Sebagaimana diketahui, bahwa eksistensi Hukum Islam sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum masuknya pemerintah Kolonial Belanda disamping Hukum Adat yang merupakan hukum asli Indonesia. Dalam konteks ini, tentunya keberadaan Hukum Islam di Indonesia integral dengan menyebarnya agama Islam di nusantara dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam.

Secara empirik Hukum Islam merupakan hukum yang hidup (the living law)[1] dalam masyarakat Indonesia mulai sejak masuknya Islam ke nusantara (Indonesia) yang menurut JC.Van Leur sejak abad ke -7[2]. Catatan JC Van Leur itu membuktikan sebenarnya Hukum Islam sudah dikenal jauh sebelum masuknya Belanda ke Indonesia. Persoalannya kemudian tentu keberadaan Hukum Islam itu tergantung pada penyebaran ajaran Islam pada waktu itu, sehingga kemudian pembicaraan mengenai Hukum Islam lebih banyak diawali pada zaman pemerintahan kolonian Belanda. Kemungkinan terbesar termajinalkan Hukum Islam pada zaman Belanda merupakan akibat panjang dari pola politik jajahan dan penetrasi dari politik hukum kolonial Belanda, serta rekayasa ilmiah kaum intelektual Belanda yang secara sistematik memarjinalkan Hukum Islam [3].

Sebagai dampak dari politik pemerintah kolonial Belanda itu, hampir semua bidang hukum Islam baik pidana maupun perdata sudah pernah berlaku sebagai hukum dalam kerajaan di Nusantara, tetapi kemudian dalam perkembangannya dianulir oleh Belanda. Bahkan termasuk aspek pidananya yang telah berlaku di kerajaan Nusantara pernah dihimpun oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri sebagai panduan pejabat pemerintahan dan hakim dalam penyelesaian perkara antara orang Islam di landraad yang dikenal dengan compendium. Misalnya pada tahun 1747 Compendium Mogharaer Code diterbitkan di Semarang, lalu pada tahun 1759 Compedium Clootwijck di Sulawesi dan pada tahun 1761 diterbitkan Compendium Freijer. Demikian juga ilmuwan Belanda Winter,Solomon Keyzer dan terutama LWC van Der Berg menyimpulkan dalam teorinya yang terkenal, receptie in complexu bahwa hukum yang sebenarnya berlaku bagi masyarakat pribumi di Nusantara adalah hukum Islam[4].

Sejalan dengan pesatnya penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara dan makin hari makin luas dan makin banyak penganutnya, pemerintah kolonial Belanda tidak bisa lagi membendung dengan hanya sekedar memainkan politik hukum kolonial seperti yang sudah ada. Terlebih lagi pada beberapa daerah ajaran Islam tampak dengan penganutnya yang kuat dan telah menerapkan Hukum Islam dalam beberapa bidang, misalnya perkawinan dan warisan seperi di Minangkabau (Sumatera Barat) dan Aceh. Kemudian, pada tahun 1760 kebijakan politik hukum pemerintah Belanda mengeluarkan residentie der Islamicsh untuk menjamin pelaksanaan hukum keluarga Islam, yang antara lain menyebutkan hakim melandaskan hukumnya pada undang-undang agama (goedsdienstigewetten).[5]. Namun demikian, sejalan dengan misi dan karakaternya sebagai penjajah, pemerintah Kolonial Belanda - lagi-lagi demi kepentingan kolonial oleh Souck Hurgronye disusun teori baru yaitu receptie theorie yang kemudian dimantap-kembangkan oleh Van Vollenhoven.Teori ini telah memutar-balikan fakta, karena menganggap Hukum Islam hanya berlaku ketika diterima (di-receptie) oleh hukum adat. Dengan demikian bagi penganut agama Islam belum tentu tunduk pada Hukum Islam [6]. Teori yang disebut oleh Hazirin\ sebagai teori iblis ini, kemudian dikukuhkan dalam Indische Staatregeling (IS) Saatblaad 1929 Nomor 212.

Meskipun kemudian dalam perjalanannya Hukum Islam hidup berdampingan dengan Hukum Adat dan hukum kolonial sendiri, akan tetapi Teori Receptie yang diperkenalkan Snouck Hurgronje --atau sebutan Hazairin sebagai “teori iblis”- yang dilatar belakang pandangan adanya pertentangan antara Hukum Islam dan Hukum Adat, dibantah oleh antara lain Sajuti Thalib yang mengatakan bahwa Hukum Adat baru berlaku jika ia tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Sajuti Thalib mengambil contoh peranan hukum Islam di Minangkabau: “Adat bersendikan Syara’, syara’ bersendikan Kitabullah.”.

Sekilas histori perjalanan Hukum Islam di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, maka Hukum Islam sebagaimana juga halnya dengan Hukum Adat adalah juga hukum yang hidup (The Living Law) dalam masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang integral dari kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Meskipun dalam faktanya tidak seluruh aspek Hukum Islam berlaku sebagai hukum positif di Indonesia dan hal yang sama juga terjadi pada Hukum Adat sebagai hasil dari politik hukum yang dijalankan pemerintah Kolonial Belanda pada masa dahulu.

Didalam praktek beberapa Pengadilan Negeri tetap menerapkan Teori Receptie. Dalam perkembangannya sekarang, Hukum Islam tidak saja mengatur masalah perkawinan dan warisan tetapi juga meluaskan pengaruhnya ke bidang hukum ekonomi seperti perbankan, asuransi dan pasar modal. Undang-Undang Perbankan Indonesia, misalnya, telah menetapkan bahwa bank tidak saja menjalankan usahanya berdasarkan bunga tetapi juga dengan cara lainnya. Cara lain tersebut misalnya bagi hasil yang dijalankan oleh Bank Syariah. Dibidang Tata Negara, perkembangan politik dalam negeri yang melahirkan otonomi daerah Khusus Nangro Aceh Darussalam.[7].

Dengan demikian, berlakunya Hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, Hukum Islam telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

Dalam konteks keterbatasan Hukum Islam sebagai hukum positif (hukum nasional), tidak berarti Hukum Islam stagnan. Sebab, hukum nasional merupakan hukum yang dibangun oleh negara dan berlaku bagi seluruh warga negara dari negara yang bersangkutan. Oleh karenanya untuk membentuk hukum nasional harus mencerminkan norma moral masyarakat yang diangkat menjadi norma hukum yang mengikat seluruh warga negera dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[8] Di samping itu, menurut Paul Scholten, pembuatan hukum nasional juga harus dengan memahami nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang kepadanya hukum akan diberlakukan.[9].

Kebijakan serupa itu tampak dalam beberapa konsep pembangunan hukum nasional yang dirumuskan dalam GBHN pada masa berkuasanya pemerintahan Orde Baru, demikian pula pada masa pemerintahan pasca reformasi Hukum Islam diwadahi dalam perundang-undangan nasional sebagai hukum positif. Sehingga benar apa yang dikemukakan Moh. Koesnoe, bahwa hukum nasional sebagai hukum yang masih bersifat hybrid.[10] Dalam GBHN 1999 misalnya yang antara lain menegaskan;

Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum;

Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial Belanda dan juga hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak-adilan gender, dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

Mencermati pembangunan hukum dalam GBHN tahun 1999 tersebut yang sudah menempatkan pembangunan hukum sebagai sub-sistem dari pembangunan nasional – pembangunan hukum yang otonom-- dan bukan lagi sebagai sub-sistem dari pembangunan politik, sebenarnya membuka ruang dan kesempatan bagi hukum agama, terlebih hukum Islam untuk mengisi atau setidak-tidaknya menjiwai hukum nasional, terutama melalui proses legislasi.

Meskipun demikian, pembangunan hukum, termasuk pembangunan Hukum Islam, menghadapi sejumlah persoalan, yang bukan saja berupa persoalan teknis, tetapi lebih jauh dari itu, yakni berkaitan dengan persoalan paradigma konsepsi pembangunan hukum dan penerapan legislative theory. Artinya, sebagai dampak pertarungan pemilihan konsepsi pembangunan hukum berdampak pada proses pembuatan hukum melalui legislasi yang lamban dan kalah cepat dibanding dengan perkembangan masyarakat yang membutuhkan jawaban hukum melalui peraturan perundang-undangan. Akibatnya hukum sebagai produk legislatif selalu tertinggal di belakang perkembangan sosial. Interaksi timbal balik pembangunan hukum dengan perubahan sosial ( mutual interactive between social change and law development) menjadi tercecer. [11].

Pembentukan hukum sangat pokok pada sebuah negara, apalagi bagi sebuah negara yang menyatakan dirinya negara hukum. Persoalannya kemudian, mengapa seringkali terjadi sebuah hukum –peraturan perundang-undangan-- yang sudah dibentuk tidak efektif.. Bahkan belakangan ada gejala sebuah undang-undang yang sudah ditetapkan masa berlakunya singkat, lalu diganti atau sekurang-kurang direvisi kembali dalam waktu tergolong singkat.

Pembentukan hukum (undang-undang-pen) adalah penciptaan hukum baru dalam arti umum. Pada umumnya hal itu berkaitan dengan perumusan-perumusan aturan-aturan umum, yang dapat berupa penambahan atau perubahan aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Disamping itu, pembentukan hukum juga dapat ditimbulkan dari keputusan-keputusan konkret (hukum preseden atau yurisprudensi), juga dapat terjadi berkenaan dengan tindakan nyata dengan suatu tindakan yang hanya terjadi sekali saja (einmalig) yang dilakukan oleh pihak yang berwenang atau organ-organ pusat berdasarkan konstitusi (pemerintah dan parlemen).[12]

Dalam konteks pembentukan undang-undang itu, Saldi Isra mengemukakan, bahwa sebagai sebuah fungsi untuk membentuk undang‐undang, legislasi merupakan sebuah proses (legislation as a process) Oleh karena itu, Woodrow Wilson dalam bukunya “Conggressional Government” mengatakan bahwa legislation is an aggregate, not a simple production. Berhubungan dengan hal itu, Jeremy Bentham dan John Austin mengatakan bahwa legislasi sebagai “any form of lawmaking” Dengan demikian, bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted law”, “statute”, atau undang‐undang dalam arti luas. Dalam pengertian itu, fungsi legislasi merupakan fungsi dalam pembentukan undang‐undang.[13]

Mencermati pembentukan undang-undang di Indonesia tidak jarang menjadi ajang perdebatan –pertarungan para politisi--, ketimbang mendalami substansi yang akan diatur dalam sebuah undang-undang yang akan dibentuk. Alih-alih mereka memikirkan teori pembentukan undang-undang, yang ada adalah apa yang mereka pikirkan. Kepentingan dan persaingan di dalam tubuh lembaga legislative, atau apa yang oleh Gregory R. Thorson[14] sebagai telah menghasilkan berbagai dugaan/prediksi tentang banyak sisi dari proses legislative (pembentukan undang-undang).

Beberapa waktu belakangan dalam kaitannya dengan pembentukan undang-undang, pengunaan teori legislative berjalan integral dengan upaya pengembangan kemampuan anggota legislative dalam membentuk undang-undang. Craig VoldenAlan E. Wiseman misalnya menyebutkan, the fact that some lawmakers are better able to formulate solutions to public policy problems and move those solutions through the legislative process could be a keystone to new theoretical developments on the workings of Congress[15]. Hal ini pemikiran dalam pembentukan undang-undang tidak lagi sepenuhnya difokuskan pada pemelihan pada teori yang cocok dan ideal, tetapi sekaligus mendorong optimalisasi kemampuan pembentuk undang-undang dalam perspektif mewujudkan lembaga legislative yang efektif.

Perkembangan yang demikian menjadi relevan dengan apa yang sedang berlangsung di Indonesia, ketika mencermati padang surut pembentukan hukum di Indonesia dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan lainnya, menampakkan suatu gejala yang berbeda dengan beberapa kelemahan –kesalahan—negara berkembang terkait dengan pembentukan hukum. Persoalan pembentukan hukum di Indonesia tidak hanya seperti yang digambarkan Jan Michiel Otto[16], yang meneropong bagaimana penggunaan teori pembentukan undang-undang dalam upaya peningkatan mutu hukum dan pembangunan pada negara-negara berkembang dengan segala dinamikanya.

Berbagai pertanyaan –untuk tidak mengatakan kecurigaan—pembentukan hukum di Indonesia dibawah pengaruh kekuatan –kepentingan—asing melalui beberapa saluran yang memungkinkan untuk memainkan peranannya dalam pembentukan hukum di Indonesia, terdapat pula ketidak-jelasan pilihan atas penggunaan teori pembentukan undang-undang disetiap kali melakukan pembentukan hukum. Hal ini tampaknya belum memperlihatkan perkembangan yang berarti meskipun sudah ada UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang di Indonesia. Persoalan kemampuan anggota legislatif dalam membentuk undang-undang sampai hari masih menjadi persoalan tersendiri di Indonesia. Hal ini terlebih lagi jika dikaitkan dengan reformasi dan perubahan paradigma fungsi legilastif, maka masalah pembentukan undang-undang di Indonesia akan semakin kompleks.

Ketidakpastian, kelemahan dan konflik akan timbul jika dalam penyusunan (pembentukan) suatu rancangan undang-undang tidak memperhatikan aspek juridis, filosofis dan sosiologis secara cermat karena masyarakat Indonesia sangat pruralistik.[17] Kondisi ini sekaligus menjadi bagian yang dihadapi Hukum Islam dalam perjalanannya sebagai suatu sistem hukum yang hidup di Indonesia. Dan karena itu pula, tulisan singkat ini tentu hanya sebuah pengantar pada pengakajian lebih jauh atas eksistensi hukum Islam di Indonesia pada masa datang.*

[1] Said Agil Husein Al Munawwar, 2004,Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia, Kaifa,Jakarta, hal. 176

[2] Ahmad Mansur Suryanegara, 1995, Menemukan Sejarah, Mizan, Bandung, hal. 74-76. Lihat juga; Hassan Muarif Ambary, 1998, Menemukan Jejak Arkeologis dan Historis Islam, Logos, Jakarta, hal. 56-58

[3] Bustanul Arifin, 1999, Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Gema Insani Press, hal33.

[4] Said Aqil Husein Al Munawwar, op. cit. hal. 271 dan lihat juga Samsul bahri, Pelembagaan Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2006 hlm

[5] Ismail Sunny, 1996, Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Teori Hukum, dalam Tim Ditbinbapera, 1996, Berbagai Pandangan Mengenai Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, hal. 56. Lihat juga Said Agil, op. cit. hal. 214.

[6] Erman Rajagukguk, Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, makalah pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung ke-37, 2 April 2005

[7] Erman Rajagukguk, ibid

[8] Rifyal Ka’bah, op. cit. hal. 216

[9] Bustanul Arifin, 2001, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 3

[10] Mohammad Koesnoe, 1993, Pembentukan Hukum Nasional, dalam Varia Peradilan Nomor 129, PP- IKAHI, Jakarta, hal. 173

[11] Yahya Harahap, 1992, Peran Yurisprudensi sebagai Standar Hukum, dalam Di Muhammad (Ketua Tim), 1995, “Pustaka Peradilan Jilid VIII”, Mahkamah Agung, Jakarta, hal. 92.

[12] Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, teori hukum dan Filsafat Hukum, penerjemah B. Arief Sidharta, PT. Refika Aditama;2008 hlm 9

[13] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; 2009 hlm 106.

[14] Gregory R. Thorson, Rule Assignment in the Postreform House: A Test of Three Competing Theories of Legislative Organization, Congress & The Presidency Volume 34 Number 2 Autumn 2007 page 33.

[15] Craig VoldenAlan E. Wiseman, Legislative Effectiveness in Congress, The Ohio State University March 2009, //psweb.sbs.ohio-state.edu/faculty/cvolden/VW_legeffect.pdf

[16] J.M. Otto,W.S.R. Stoter & J.Arnscheidt, “Using Legislative Theory to Improve Law and Development Projects, RegelMaat afl. 2004/4

[17]Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum”, penerbit KHN;2003, hlm 60

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar